JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA
UUD 1945 Pasal 28 H (amandemen kedua) menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagaimana manusia yang bermartabat”, dan Pasal 34 – ayat 2 (amandemen keempat), bahwa: “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”. Di samping itu, Ketetapan MPR No. X/MPR/2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001 juga menugaskan kepada Presiden untuk membentuk sistem jaminan sosial nasional dalam rangka memberi perlindungan sosial yang lebih menyeluruh dan terpadu.
Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) telah dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 20 Tahun 2002 yang bertujuan untuk menyusun suatu Undang-undang SJSN. Tim SJSN telah menyusun suatu naskah akademik dan telah diserahkan kepada DPR dalam rangka pengajuan RUU SJSN. Cakupan naskah akademis tersebut meliputi jaminan sosial dengan pendekatan skema asuransi yang mewajibkan pekerja formal untuk mengikuti jaminan sosial pada aspek jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, pemutusan hubungan kerja, jaminan hari tua, pensiun dan kematian. Sedangkan bagi tenaga kerja informal dan masyarakat miskin belum tercantum.
Sejak tahun 2002 Bappenas telah melakukan kajian awal mengenai sistem perlindungan dan jaminan sosial yang pada intinya berupaya untuk menuju ke arah pembentukan suatu Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial (SPJS) yang ditujukan untuk seluruh rakyat Indonesia. Selanjutnya, pada tahun ini Bappenas melakukan kajian yang lebih mendalam dengan output suatu rekomendasi “Desain Sistem Perlindungan Sosial (SPS) Terpadu”. Dalam implementasi SPS tersebut, masyarakat yang bekerja, dunia usaha dan pemerintah diharapkan dapat bersama-sama menanggung pendanaan sistem tersebut. Salah satu rekomendasi kajian menyatakan perlunya suatu SPS yang dikaitkan dengan sistem administrasi penduduk (unique number system). Dengan demikian, identifikasi penduduk yang layak memperoleh perlindungan sosial akan lebih tepat dan efisien.
Disadari bahwa pembentukan suatu SPS memerlukan waktu yang panjang dan lama. Oleh karena itu, implementasi SPS dilakukan secara bertahap. Tahap awal adalah membentuk kebijakan SPS berikut perangkat pendukung baik dari aspek hukum dan kelembagaan. Dalam naskah ini akan dipaparkan suatu desain SPS yang menyeluruh untuk seluruh penduduk Indonesia dan terintegrasi. Namun demikian pada tahap selanjutnya adalah diperlukan strategi pelaksanaan (termasuk master plan) SPS di beberapa daerah yang disesuaikan dengan kemampuan pemerintah, dunia usaha, masyarakat serta sasaran khusus penduduk miskin.
(a). Latar Belakang
Pelaksanaan sistem jaminan sosial ketenagakerjaan di Indonesia secara umum meliputi penyelengaraan program-program Jamsostek, Taspen, Askes, dan Asabri. Penyelengaraan program Jamsostek didasarkan pada UU No 3 Tahun 1992, program Taspen didasarkan pada PP No 25 Tahun 1981, program Askes didasarkan pada PP No 69 Tahun 1991, program Asabri didasarkan pada PP No 67 Tahun 1991, sedangkan program Pensiun didasarkan pada UU No 6 Tahun 1966. Penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia berbasis kepesertaan, yang dapat dibedakan atas kepesertaan pekerja sektor swasta, pegawai negeri sipil (PNS),dan anggota TNI/Polri (Lihat Tabel 1).
(b). JAMSOSTEK
Jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek) sebagaimana didasarkan pada UU No 3 Tahun 1992, pada prinsipnya merupakan sistem asuransi sosial bagi pekerja (yang mempunyai hubungan industrial) beserta keluarganya. Skema Jamsostek meliputi program-program yang terkait dengan risiko, seperti jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan pemeliharaan kesehatan, dan jaminan hari tua.
Cakupan jaminan kecelakaan kerja (JKK) meliputi: biaya pengangkutan, biaya pemeriksaan, pengobatan, perawatan, biaya rehabilitasi, serta santunan uang bagi pekerja yang tidak mampu bekerja, dan cacat. Apabila pekerja meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja, mereka atau keluarganya berhak atas jaminan kematian (JK) berupa biaya pemakaman dan santunan berupa uang. Apabila pekerja telah mencapai usia 55 tahun atau mengalami cacat total/seumur hidup, mereka berhak untuk memperolah jaminan hari tua (JHT) yang dibayar sekaligus atau secara berkala. Sedangkan jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK) bagi tenaga kerja termasuk keluarganya, meliputi: biaya rawat jalan, rawat inap, pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan, diagnostik, serta pelayanan gawat darurat.
Pada dasarnya program Jamsostek merupakan sistem asuransi sosial, karena penyelenggaraan didasarkan pada sistem pendanaan penuh (fully funded system), yang dalam hal ini menjadi beban pemberi kerja dan pekerja. Sistem tersebut secara teori merupakan mekanisme asuransi. Penyelengaraan sistem asuransi sosial biasanya didasarkan pada fully funded system, tetapi bukan harga mati. Dalam hal ini pemerintah tetap diwajibkan untuk berkontribusi terhadap penyelengaraan sistem asuransi sosial, atau paling tidak pemerintah terikat untuk menutup kerugian bagi badan penyelengara apabila mengalami defisit. Di sisi lain, apabila penyelenggara program Jamsostek dikondisikan harus dan memperoleh keuntungan, pemerintah akan memperoleh deviden karena bentuk badan hukum Persero.
Kontribusi atau premi yang dibayar dalam rangka memperoleh jaminan sosial tenaga kerja adalah bergantung pada jenis jaminan tersebut. Iuran JKK adalah berkisar antara 0,24 persen - 1,742 persen dari upah per bulan dan atau per tahun, bergantung pada kelompok jenis usaha (terdapat 5 kelompok usaha), dan dibayar (ditanggung) sepenuhnya oleh pengusaha (selaku pemberi kerja). Demikian pula dengan JK, iuran sepenuhnya merupakan tanggungan pengusaha yaitu sebesar 0,30 persen dari upah per bulan. Sementara itu, iuran JPK juga merupakan tanggungan pengusaha yaitu sebesar 6 persen dari upah per bulan bagi tenaga kerja yang sudah berkeluarga, dan 3 persen dari upah per bulan bagi tenaga kerja yang belum berkeluarga, serta mempunyai batasan maksimum premi sebesar satu juta rupiah. Sedangkan iuran JHT ditanggung secara bersama yaitu sebesar 3,70 persen dari upah per bulan ditanggung oleh pengusaha, dan 2 persen dari upah per bulan ditanggung oleh pekerja.
Dalam UU No. 3 Tahun 1992, dinyatakan bahwa penyelenggara perlindungan tenaga kerja swasta adalah PT Jamsostek. Setiap perusahaan swasta yang memperkerjakan sekurang-kurangnya 10 orang atau dapat membayarkan upah sekurang-kurangnya Rp 1 juta rupiah per bulan diwajibkan untuk mengikuti sistem jaminan sosial tenaga kerja ini. Namun demikian, belum semua perusahaan dan tenaga kerja yang diwajibkan telah menjadi peserta Jamsostek. Data menunjukan, bahwa sektor informal masih mendominasi komposisi ketenagakerjaan di Indonesia, mencapai sekitar 70,5 juta, atau 75 persen dari jumlah pekerja – mereka belum tercover dalam Jamsostek.
Sampai dengan tahun 2002, secara akumulasi JKK telah mencapai 1,07 juta klaim, JHT mencapai 2,85 juta klaim, JK mencapai 140 ribu klaim, dan JPK mencapai 54 ribu klaim. Secara keseluruhan, nilai klaim yang telah diterima oleh peserta Jamsostek adalah sekitar Rp 6,2 trilyun. Namun demikian, posisi PT Jamsostek mengalami surplus sebesar Rp 530 milyar pada Juni 2002.
(c). TASPEN
Untuk itu pada tahun 1992 telah ditetapkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun sebagai landasan hukum bagi penyelenggaraan program pensiun. Di samping itu, penyelenggaraan program jaminan kesejahteraan PNS diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1956 tentang Pembelanjaan Pensiun; Undang-undang No. 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda; Undang-undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian; dan Undang-undang No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian.
Berdasarkan PP No. 26 Tahun 1981 (pasal 2), PT. TASPEN (Persero) ditetapkan sebagai penyelenggara program asuransi sosial bagi PNS yang terdiri dari Dana Pensiun dan Tabungan Hari Tua (THT). Disamping itu, pada saat ini PT. TASPEN juga membayarkan beberapa program lainnya seperti Asuransi Kematian; Uang Duka Wafat; Bantuan untuk Veteran; dan Uang TAPERUM dari BAPERTARUM.
Pengelolaan program pensiun, berdasarkan Undang-undang No. 11 Tahun 1969 pendanaan pensiun dibebankan kepada APBN. Sistem ini disebut sebagai pendanaan “pay as you go” (seorang PNS begitu pensiun langsung dibayar) dan telah dilakukan sampai dengan akhir 1993. Sejak tahun 1994 pemerintah melalui Menteri Keuangan telah menetapkan sistem pendanaan pensiun dengan pola “current cost financing” yaitu suatu metode gabungan pay as you go dengan sistem funded dalam rangka pemberdayaan akumulasi iuran peserta program pensiun PNS. Dalam sistem pendanaan ini, beban pembayaran pensiun yang dialokasikan dari APBN adalah sebesar 75 persen dan dari akumulasi iuran peserta sebesar 25 persen dari seluruh beban pembayaran pensiun PNS.
Sumber dana program tabungan hari tua PNS diperoleh dari iuran peserta sebesar 3,25 persen dari penghasilan peserta setiap bulan. Sedangkan sumber dana untuk program dana pensiun PNS diperoleh dari iuran peserta sebesar 4,75 persen dari penghasilan peserta setiap bulan. Penghasilan yang dimaksud disini adalah gaji pokok + tunjangan istri + tunjangan anak. Disamping itu, PNS juga dikenakan iuran sebesar 2,00 persen dari penghasilan peserta setiap bulan untuk membayar iuran program kesehatan.
Formula manfaat program tabungan hari tua sejak Januari 2001 sampai dengan sekarang didasarkan pada keputusan direksi dengan formula: (0,55 x MI 1 x P2000) + (0,55 x MI 2 x (P2001 – P2000)). MI 1: Masa Iuran sejak menjadi peserta sampai dengan berhenti. MI 2: Masa Iuran sejak 2001 sampai dengan berhenti. Sedangkan formula manfaat program pensiun adalah 2,5 persen x masa kerja x penghasilan dasar pensiun. Pelaksanaan pembayaran program tabungan hari tua dan pensiun dilakukan melalui 4000 titik kantor bayar melalui PT. Taspen (Persero), Bank, dan Kantor Pos.
Sasaran program jaminan sosial hari tua/pensiun yang dilaksanakan oleh PT (Persero) Taspen adalah semua Pegawai Negeri Sipil, kecuali PNS di lingkungan Departemen Pertahanan – Keamanan. Pada tahun 2001 jumlah PNS adalah sebanyak 3.932.766 orang dengan rincian sebanyak 3.002.164 PNS daerah, dan sebanyak 930.602 orang PNS pusat. Yang berhak mendapat pensiun sesuai dengan peraturan perundang yang berlaku adalah peserta; atau janda/duda dari peserta, dan janda/duda dari penerima pensiun; atau yatim piatu dari peserta, dan yatim piatu dari penerima pensiun; atau orang tua dari peserta yang tewas yang tidak meninggalkan janda/duda/anak yatim piatu yang berhak menerima pensiun. Sedangkan yang berhak mendapat tabungan hari tua adalah peserta; atau istri/suami, anak atau ahli waris peserta yang sah dalam hal peserta meninggal dunia.
(d). ASABRI
Program kesejahteraan bagi anggota TNI diatur dalam beberapa Undang-undang, seperti: Undang-undang No. 2 Tahun 1959 tentang Pemberian Pensiun dan Onderstand Angkatan Perang RI; Undang-undang No. 6 Tahun 1966 tentang Pensiun, Tunjangan bersifat Pensiun dan Tunjangan bagi Mantan prajurut TNI dan Anggota POLRI; Undang-undang No. 75 tahun 1957 tentang Veteran Pejuang Kemerdekaan RI; dan Undang-undang No. 15 Tahun 1965 tentang Veteran RI. Dalam penyelenggaraan program asuransi sosial bagi PNS telah diatur dalam PP Nomor 25 Tahun 1981, dimana diantaranya diatur mengenai besarnya iuran bagi setiap PNS untuk program Tabungan Hari Tua (THT) dan Pensiun.
(e). ASKES
Sistem perlindungan sosial yang ada saat ini adalah Sistem Asuransi Kesehatan (yang diselenggarakan oleh PT Askes), untuk memberikan pelayanan kesehatan sesuai ketentuan yang berlaku. Ruang lingkup pelayanan yang diberikan antara lain, konsultasi medis dan penyuluhan kesehatan, pemeriksaan dan pengobatan oleh dokter umum dan atau paramedis, pemeriksaan dan pengobatan gigi, dan lainnya.
Visi ke depan PT Askes adalah menjadi spesialis asuransi kesehatan dan jaminan pemeliharaan kesehatan untuk mengantisipasi penerapan Jaminan Sosial Nasional yang sedang disusun pemerintah. Dengan pengalaman mengelola asuransi kesehatan selama 34 tahun dengan 14 juta peserta, PT Askes berharap menjadi market leader dan center of excellence asuransi kesehatan.
Potongan iuran wajib atau premi untuk dana pemeliharaan kesehatan bagi pegawai negeri sipil (PNS), dan penerima pensiun beserta anggota keluarganya, diatur melalui Keputusan Presiden. Keputusan Presiden yang masih berlaku sampai sekarang adalah Keputusan Presiden No. 8 tahun 1977, menyatakan bahwa 2 persen dari penghasilan pegawai digunakan untuk pemeliharaan kesehatan Pegawai Negeri dan Penerima Pensiun. Kemudian dengan UU No. 43 tahun 1999, pasal 32, dinyatakan bahwa untuk penyelenggaraan asuransi kesehatan pemerintah menanggung subsidi dan iuran yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Selain menyelenggarakan asuransi kesehatan sosial bagi pegawai negeri sipil, pensiunan, veteran dan perintis kemerdekaan, PT Askes juga menyelenggarakan Askes komersial untuk perusahaan swasta yang memerlukan jaminan pemeliharaan kesehatan karyawan
.
Berkaitan dengan otonomi daerah, PT Askes menawari pemerintah kabupaten/kota untuk membelikan produk suplemen/menambah premi untuk pegawai negeri dan keluarganya, sehingga jika berobat tidak perlu lagi iur biaya. Sebagai contoh, di Kalimantan Timur, seluruh pegawai negeri sudah diberi paket suplemen. Pemerintah Daerah Papua juga mengundang PT Askes untuk mengelola jaminan pemeliharaan kesehatan rakyatnya.
Selain itu, untuk meningkatkan komunikasi, Askes menyelenggarakan pertemuan rutin dengan organisasi provider (penyedia jasa layanan kesehatan), seperti Asosiasi Rumah Sakit Daerah (Arsada) dan rumah sakit perusahaan jawatan. Askes juga memiliki situs web dan e-mail untuk berkomunikasi. Saat ini Askes sedang menyiapkan buku saku untuk peserta maupun provider, serta berencana menyediakan formulir keluhan yang bisa dikirim ke Direktur Askes maupun kantor cabang sebagai mekanisme kontrol bagi Askes maupun provider.
A.2 JAMINAN PEMELIHARAAN KESEHATAN MASYARAKAT
(a) Latar Belakang
Saat ini jasa pelayanan kesehatan makin lama makin mahal. Tingginya biaya kesehatan yang harus dikeluarkan oleh perseorangan menyebabkan tidak semua anggota masyarakat mampu untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang layak. Selain itu, kemampuan pemerintah untuk mensubsidi pelayanan kesehatan sangat rendah. Tanpa sistem yang menjamin pembiayaan kesehatan, maka akan semakin banyak masyarakat yang tidak mampu yang tidak memperoleh pelayanan kesehatan yang dibutuhkan.
Sistem fee for service untuk sistem pelayanan kesehatan menyebabkan masyarakat sulit menjangkau pelayanan kesehatan yang layak. Semestinya harga yang tidak terjangkau masyarakat ini bisa dikendalikan dengan asuransi kesehatan sosial. Namun, apabila hendak mengikuti asuransi, tidak banyak masyarakat yang mampu membayar premi asuransi komersial.
Cara terbaik untuk mengatasi tingginya pembiayaan kesehatan adalah memperbaiki pembiayaan kesehatan dengan jaminan kesehatan sosial. Asuransi kesehatan dipandang sebagai salah satu alternatif pemecahan masalah pembiayaan kesehatan. Namun permasalahannya adalah hingga kini manajemen sistem asuransi banyak mengalami hambatan untuk mengimplementasikan konsep-konsep asuransi.
Bila ditinjau dari Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Pasal 28H (1) menyebutkan setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Demikian pula dalam Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan dan konstitusi WHO, yang menetapkan bahwa kesehatan adalah hak fundamental setiap individu. Oleh karena itu negara bertanggung jawab untuk mengatur agar hak hidup sehat bagi penduduknya terpenuhi.
Sejak tahun 1998, pemerintah telah membiayai pemeliharaan keluarga miskin (Gakin), melalui program jaminan pemeliharaan kesehatan keluarga miskin (JPK-Gakin) khususnya untuk pelayanan kesehatan dasar yang kemudian diperluas untuk pelayanan pencegahan dan pemberantasan penyakit menular (khususnya malaria, diare, dan TB paru).
Kemudian, pada akhir tahun 2001 disalurkan dana subsidi bahan bakar minyak (PDPSE) untuk pelayanan rumah sakit (RS) bagi keluarga miskin. Program ini diselenggarakan untuk mengatasi dampak krisis dengan memberikan pelayanan kesehatan gratis bagi keluarga miskin melalui subsidi biaya operasional Puskesmas, Bidan di Desa, Gizi, Posyandu, Pemberantasan penyakit menular (P2M) dan rujukan RS.
(b) Konsep JPKM
Masalah kesehatan masyarakat semakin kompleks, namun upaya kesehatan yang diwujudkan pemerintah belum sepenuhnya memuaskan masyarakat. Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat (JPKM) yang diperkirakan bisa mengurangi beban masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu belum sepenuhnya dipahami oleh masyarakat.
JPKM mengarah kepada penyelenggaraan asuransi kesehatan komersial. JPKM bukan asuransi biasa, melainkan asuransi plus. Dalam arti, mengambil dana masyarakat dalam bentuk premi, kemudian melaksanakan pembiayaan kesehatan secara paripurna dan terkendali lewat pembayaran prospektif kepada penyedia pelayanan kesehatan, disertai sistem kendali mutu dan pemantauan utilisasi.
Untuk menjamin kesinambungan pembiayaan pelayanan kesehatan bagi keluarga miskin, pemerintah meluncurkan sistem jaminan kesehatan dalam bentuk jaminan pemeliharaan kesehatan keluarga miskin (JPK Gakin). Nantinya, subsidi pemerintah untuk keluarga miskin tidak langsung disalurkan ke pemberi pelayanan kesehatan (puskesmas, bidan atau rumah sakit), melainkan lewat badan penyelenggara jaminan pemeliharaan kesehatan (Bapel JPK).
Bapel JPK bertugas mengelola kepesertaan, membayarkan dana ke pemberi pelayanan kesehatan serta menjaga mutu pelayanan kesehatan. Pemerintah daerah/dinas kesehatan bertindak sebagai pembina/pengawas. Dengan sistem ini akan terjadi pemisahan fungsi yang tegas dan saling mengontrol. Keluarga miskin didorong memanfaatkan pelayanan serta dilayani secara terpadu oleh puskesmas dan rumah sakit.
UU No. 23 tahun 1992 telah menetapkan bahwa JPKM sebagai cara yang terbaik karena diterapkan kendali biaya, kendali mutu dan kendali pemerataan kebutuhan bagi pesertanya. Sampai dengan akhir tahun 2002, cakupan JPKM baru mencapai 20,2 persen (Data Susenas) dengan coverage 6,3 persen keluarga miskin yang memperoleh kartu sehat JPSBK.
Peraturan Menteri Kesehatan nomor 527/Menkes/Per/VII/1993 mencantumkan adanya suatu paket pemeliharaan kesehatan yang berisi kumpulan pelayanan kesehatan. Paket ini diselenggarakan oleh suatu badan penyelenggara untuk kepentingan peserta dalam rangka melindungi dan meningkatkan derajat kesehatan, yang meliputi rawat jalan, rawat inap, gawat darurat dan penunjang.
Penetapan biaya pelayanan kesehatan per kapita (kapitasi) yang dibayar oleh penyelenggara kepada PPK dihitung berdasarkan ketetapan tentang jenis pelayanan, utilisasi/kunjungan, dan biaya satuan (unit cost). Berdasarkan asumsi di tingkat pusat kapitasi pelayanan kesehatan (yankes) Gakin untuk paket harkes standar/dasar dengan tarif Perda subsidi, seperti berikut:
No | Jenis Pelayanan | Kunjungan Rata-rata Peserta | Tarif Perda (Rp) | Biaya Per kapita |
1 | Rawat jalan Tk I (Puskesmas) | 14,00 | 1.000 | 140 |
2 | Rawat jalan spesialistik (RS Pemerintah) | 2,00 | 5.000 | 100 |
3 | Rawat Inap (5 hari) | 0,290 | 200.000 | 580 |
4 | Gawat Darurat | 0,037 | 20.000 | 7 |
Jumlah biaya pelayanan kesehatan per kapita per bulan adalah Rp. 827,-
Dengan memperhitungkan biaya administrasi penyelenggara sebesar 8 persen, maka dihitung premi sebesar = 100/92 x Rp. 827,- = Rp. 899,-/kapita/bulan atau premi Gakin sebesar = 4 x Rp. 899,- = Rp. 3.596,-/keluarga/bulan.
Dalam jangka panjang JPK Gakin akan diintegrasikan dengan asuransi sosial kesehatan yang mencakup seluruh penduduk. Asuransi sosial kesehatan bersifat wajib bagi seluruh penduduk, sedangkan JPKM bersifat sukarela. Untuk pembayarannya, premi bagi keluarga miskin dibayar oleh pemerintah, sedangkan keluarga mampu diminta membayar sendiri preminya.
Paket pelayanan standar untuk keluarga miskin meliputi rawat jalan di puskesmas, rawat jalan spesialistis di rumah sakit, rawat inap di rumah sakit sesuai kebutuhan medik untuk rata-rata lima hari serta pelayanan gawat darurat di puskesmas maupun rumah sakit. Sedangkan jenis perawatan bagi keluarga miskin yang telah dilaksanakan di rumah sakit adalah persalinan, tuberkulosis paru, gastroenteritis/gangguan pencernaan, bedah, tifoid, gastritis/radang lambung, febris/demam, hernia, asma, dan malaria.
Pemerintah berniat untuk mengintegrasikan program bantuan pemeliharaan kesehatan keluarga miskin dengan asuransi sosial kesehatan. Selain itu, adanya upaya pemerintah pusat untuk mendorong pemerintah daerah agar lebih bertanggung jawab dalam memelihara kesehatan penduduk miskin lewat kontribusi dana.
Pembiayaan kesehatan yang bersumber dari pemerintah (APBN, APBD I, dan APBD II) dan masyarakat (rumah tangga, perusahaan, dan asuransi/jaminan kesehatan) masih sangat rendah, berkisar 2,5 persen dari produk domestik bruto (PDB). Nilai tersebut setara dengan US$12/kapita/tahun.
Dari besaran pembiayaan kesehatan setahun, kontribusi pemerintah berkisar 30 persen (US$ 3,5/kapita). Sementara kontribusi masyarakat berkisar 75-80 persen berupa pengeluaran rumah tangga atau membayar dari kantong sendiri. Hanya sebagian kecil (berkisar 20 persen) yang merupakan pengeluaran terorganisasi oleh perusahaan asuransi/jaminan kesehatan.
A.3 PERLINDUNGAN SOSIAL DI BIDANG PENDIDIKAN
(a). Latar Belakang
Dengan terjadinya krisis multi dimensi yang dialami Indonesia sejak tahun 1997, maka terjadi penurunan kesejahteraan hidup masyarakat secara riil, yang ditandai antara lain dengan semakin melemahnya daya beli masyarakat (purchasing power parity). Akibat adanya krisis, kebanyakan pendapatan keluarga mengalami penurunan secara drastis. Hal ini berakibat pula pada menurunnya seluruh komponen pengeluaran keluarga tersebut. Salah satu komponen pengeluaran keluarga adalah pengeluaran pendidikan. Jika suatu keluarga sudah miskin sebelum krisis, maka setelah krisis keluarga tersebut akan jatuh lebih miskin lagi. Keadaan ini memaksa keluarga tersebut mengambil keputusan untuk “mengerahkan” seluruh anggota keluarganya untuk bekerja/mencari pendapatan tambahan, tanpa terkecuali anak-anak yang masih berada pada usia sekolah. Jika hal ini terjadi, maka anak-anak yang seharusnya berada di sekolah, mereka menjadi drop-out, karena alasan ekonomi – membantu menambah pendapatan keluarga.
Fenomena tersebut di atas menuntut upaya Pemerintah untuk segera mengatasinya. Kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah melalui JPS, antara lain dengan memberikan bantuan biaya pendidikan dalam bentuk beasiswa bagi murid dari keluarga miskin. Karena target Pemerintah adalah menuntaskan wajib belajar 9 tahun (hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama/SLTP), maka pemberian beasiswa tersebut diprioritaskan bagi murid Sekolah Dasar/SD dan SLTP, ditambah dengan murid Sekolah Menengah Umum/SMU dari keluarga miskin saja. Sementara itu, mahasiswa dari keluarga miskin – apabila keluarganya tidak mampu membiayainya lagi – maka mereka akan secara “terpaksa” menjadi drop-out.
(b) Landasan Hukum
Landasan hukum bagi pembangunan dan jaminan sosial di bidang pendidikan adalah UUD 1945 Amandemen keempat tanggal 10 Agustus 2002, baik pada Pembukaan, maupun dalam beberapa pasalnya. Dalam Pembukaan UUD 1945 dinyatakan bahwa salah satu tujuan nasional adalah memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sedangkan Pasal 31 dalam ayat-ayatnya menyatakan sebagai berikut: (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan; (2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dalam undang-undang; dan (3) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Selanjutnya, Pasal 34 dalam ayat-ayatnya menyatakan bahwa: (1) Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara; dan (2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Landasan hukum lainnya adalah: UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional; UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; UU No. 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO 138 mengenai Batas Usia Minimum Anak Bekerja; dan UU No. 1 Tahun 2000 tentang Ratifikasi Konvensi ILO 182 mengenai Pelanggaran dan Bentuk-bentuk Terburuk Pekerja Anak; serta Keputusan Presiden tentang Penanggulangan Kemiskinan.
(c) Konsep Sistem Perlindungan Pendidikan
Sistem perlindungan dan jaminan sosial di bidang pendidikan yang ada saat ini adalah sistem perlindungan dan jaminan sosial dalam rangka mengatasi dampak krisis ekonomi terhadap kelompok penduduk miskin agar dapat tetap bertahan dan atau melanjutkan pendidikannya. Untuk itu, Pemerintah telah mengembangkan program Jaring Perlindungan Sosial (JPS) bidang pendidikan. Kegiatan utama pada JPS bidang pendidikan diprioritaskan pada upaya-upaya seperti mengurangi angka putus sekolah yang cenderung meningkat, khususnya pada tingkat SD dan SLTP yang merupakan paket “Wajib Belajar Sembilan Tahun”, dan untuk mencegah menurunnya kualitas pendidikan dasar. Kegiatan tersebut dilaksanakan melalui pemberian bantuan beasiswa untuk murid SD/Madrasah Ibtidaiyah (MI)/Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), SLTP/Madrasah Tsanawiyah (MTs.)/SLTP Luar Biasa (SLTPLB), dan SMU/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)/Madrasah Aliyah (MA)/Sekolah Menengah Luar Biasa (SMLB). Di samping itu, juga diberikan dana bantuan operasional (DBO) bagi SD/MI/SDLB, SLTP/MTs./SLTPLB, dan SMU/SMK/MA/SMLB, yang dimaksudkan untuk mendukung biaya operasional dan pemeliharaan sekolah, agar penyelenggaraan pendidikan di sekolah dapat terlaksana dengan lancar.
Kegiatan JPS bidang pendidikan didanai dengan APBN dan Pinjaman Luar Negeri (PLN), yang berasal dari World Bank (WB) dan Asian Development Bank (ADB). Pengalokasian pendanaan adalah sebagai berikut:
a. ADB : 16 provinsi; DKI, Jateng, Jatim, Bali, NTB, NTT, Kalbar, Kalteng, Kaltim, Kalsel, Sulut, Sulteng, Sulsel, Sultra, Maluku, dan Irian Jaya.
b. WB : 11 provinsi di luar ADB; DI Aceh, Sumut, Sumbar, Riau, Jambi, Sumsel, Bengkulu, Lampung, Jabar, DI Yogyakarta, dan Timtim.
c. APBN : Beasiswa untuk tingkat SD dan SMU, DBO untuk setingkat SMU, serta sasaran lainnya di luar ADB dan WB.
Untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan sistem perlindungan dan jaminan sosial di bidang pendidikan, melalui skema JPS telah ditetapkan: 1) sasaran dan sumber dana; 2) persyaratan siswa penerima beasiswa bagi siswa SD/MI/SDLB, dan siswa SLTP/MTs./SLTPLB, dan siswa SMU/SMK/MA/SMLB, serta 3) persyaratan bagi sekolah penerima dana bantuan operasional (DBO). Di samping itu, untuk efisiensi dan efektivitas pencapaian tujuan JPS, telah dibentuk: 1) Tim Koordinasi, baik di tingkat Pusat, Provinsi maupun Kabupaten/Kotamadya, termasuk Kecamatan dan Desa di dalamnya; 2) mekanisme penyaluran dana dan mekanisme pelaporan dan pertanggungjawaban penyaluran dana; dan 3) sistem monitoring dan evaluasi.
Sehubungan dengan akan berakhirnya JPS, maka Pemerintah (dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional), telah melaksanakan program serupa, yaitu melalui Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS BBM), pada periode 2002/2003. Pada dasarnya mekanisme pelaksanaan program PKPS BBM ini menggunakan sistem yang sama dengan JPS, hanya sumber dananya berasal dari APBN murni. Program ini juga memberikan beasiswa/Bantuan Khusus Murid (BKM) dan Bantuan Khusus Sekolah (BKS), sebagaimana JPS dengan pemberian beasiswa dan DBO-nya.
Pada periode Januari – Juni 2003, BKM ini akan diberikan kepada 2,2 juta siswa SD (7 persen dari total siswa SD); 1 juta siswa SLTP (10 persen dari total siswa SLTP); dan 400 ribu siswa SMU (8 persen dari total siswa SMU). Jumlah bantuan yang akan diberikan per tahun masing-masing sebesar Rp 120.000,00 bagi siswa SD, Rp 240.000,00 bagi SLTP, dan Rp 300.000,00 bagi SMU. Adapun untuk periode Juli – Desember 2003, BKM tersebut akan diberikan kepada 5,75 juta siswa SD (19 persen dari total siswa SD); 1,75 juta siswa SLTP (18 persen dari total siswa SLTP); dan 600 ribu siswa SMU (12 persen dari total siswa SMU), dengan jumlah bantuan yang sama dengan periode sebelumnya.
Adapun besarnya DBO atau BKS masing-masing adalah Rp 2 juta bagi SD, Rp 4 juta bagi SLTP, dan Rp 10 juta bagi SMU. Data selengkapnya mengenai realisasi JPS bidang pendidikan yang telah dilaksanakan sejak tahun 1998-2003, dapat dilihat pada Tabel Realisasi Pemberian Bantuan JPS Bidang Pendidikan 1998/1999-2002/2003 (terlampir).
Di samping JPS bidang pendidikan, pada tahun 1998-2002, ADB juga telah memberikan bantuan pendidikan dalam bentuk JPS bidang sosial (JPS-BS). Bantuan ini berbentuk beasiswa bagi anak jalanan dan anak terlantar, yang diberikan secara block-grant kepada Rumah Singgah dan Panti Asuhan di 8 kota besar. Kedelapan kota besar tersebut adalah DKI, Bandung, Semarang, DI Yogyakarta, Surabaya, Medan, Makassar, dan Palembang. Pada awalnya sempat terjadi duplikasi sasaran antara JPS pendidikan dengan JPS-BS, namun sejak diberlakukannya uang registrasi bagi penerima beasiswa JPS-BS, kemungkinan tersebut dapat dikurangi.
Untuk mengembangkan skema yang sudah ada dalam kaitannya dengan SPJS di bidang pendidikan, diusulkan beberapa alternatif konsep awal SPJS di bidang pendidikan, antara lain: 1) pemberlakuan ketentuan khusus dalam berbagai ketentuan yang berkaitan dengan masalah keuangan, seperti uang pangkal, uang gedung, ujian sekolah, ujian nasional; 2) pemberlakuan model subsidi silang dalam pembiayaan pendidikan; 3) pengalokasian dana khusus bagi daerah terpencil, daerah bencana alam, dan daerah kerusuhan; 4) pemberian beasiswa khusus untuk anak-anak putus sekolah, anak-anak dari keluarga miskin, anak-anak yang tidak tamat dalam program wajib belajar, anak yatim piatu, anak-anak terlantar; 5) penyediaan layanan pendidikan bagi anak-anak cacat; dan 6) pemberian beasiswa khusus untuk anak-anak yang memiliki kemampuan luar biasa.
(d) Sasaran
Sasaran sistem perlindungan dan jaminan sosial melalui skema JPS adalah keluarga-keluarga miskin, baik di perdesaan maupun di perkotaan. Mereka adalah keluarga-keluarga yang termasuk kategori Keluarga Pra-Sejahtera, Keluarga Sejahtera I dan keluarga miskin lainnya (karena alasan ekonomi). Di dalamnya antara lain termasuk siswa SD, SLTP, dan SMU.
Sedangkan sasaran dari konsep awal SPJS di bidang pendidikan adalah: 1) anak-anak yang orang tuanya berpenghasilan di bawah UMR per bulan; 2) anak-anak dan satuan pendidikan daerah terpencil, daerah bencana alam, daerah kerusuhan; 3) anak-anak yang berasal dari keluarga miskin, anak-anak yatim piatu, anak-anak terlantar; 4) anak-anak cacat; dan 5) anak-anak yang berprestasi.
Adapun sasaran bagi JPS-BS adalah anak jalanan dan anak terlantar yang bersekolah, dengan sepengetahuan dari Rumah Singgah/Panti Asuhan yang bersangkutan.
A.4 PERLINDUNGAN SOSIAL BAGI MASYARAKAT RENTAN
(a) Latar Belakang
Dalam kurun waktu 57 tahun sejak Indonesia merdeka telah banyak upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengangkat kesejahteraan rakyat Indonesia. Namun, hingga saat ini pula kemiskinan masih menjadi masalah utama yang harus ditangani bersama. Sampai dengan tahun 2000 jumlah penduduk Indonesia yang tergolong miskin telah mencapai sekitar 37,5 juta jiwa (Susenas 2000), dan 13,4 juta di antaranya tergolong penduduk yang sangat miskin (crust of the poor).
Pemerintah, dalam mengupayakan kesejahteraan sosial rakyat terutama masyarakat yang tergolong rentan seperti penduduk miskin, lanjut usia, anak, penyandang cacat ganda (fisik dan mental), serta penduduk yang tinggal di kawasan terpencil, telah menyelenggarakan beberapa bentuk perlindungan sosial.
Namun hingga saat ini penduduk rentan serta yang bekerja di sektor informal pada umumnya belum tersentuh oleh skema-skema tersebut sehingga mereka berada dalam posisi yang sangat rentan terhadap ketidak stabilan perekonomian yang terjadi baik di lingkungannya maupun di Indonesia secara umum. Oleh sebab itu, diperlukan suatu sistem yang dapat memberikan perlindungan dan jaminan sosial bagi mereka dalam menghadapi ketidak stabilan ekonomi maupun sosial.
Salah satu upaya pemerintah untuk memberikan jaminan sosial yang sepatutnya diterima oleh penduduk miskin, adalah melakukan uji-coba skema Asuransi Kesejahteraan Sosial (Askesos). Melalui Askesos, penduduk miskin yang bekerja di sektor informal diharapkan akan dapat menikmati sistem asuransi sosial yang kemudian dapat menurunkan resiko ancaman ketidaksejahteraan sosial sebagai akibat dari pencari nafkah menderita sakit, mengalami kecelakaan, ataupun meninggal dunia.
(b) Kondisi Saat Ini
Saat ini dengan berbagai bentuk perlindungan dan jaminan sosial yang diselenggarakan pemerintah seperti yang telah diutarakan sebelumnya, tidak dapat disangkal bahwa dalam penyelenggaraannya, skema-skema tersebut saling tumpang tindih. Bahkan, terjadi keragaman dalam pengertian dan cakupan dari skema-skema tersebut, misalnya:
(1) Bantuan sosial. JPS merupakan bagian dari perlindungan sosial yang diberikan oleh pemerintah dalam menghadapi masa krisis ekonomi. Sebagai rescue project, maka JPS tidak direncanakan untuk bertahan dan berlanjut setelah masa krisis berakhir. Saat ini JPS telah memasuki tahap akhir (exit strategy), selama tahun 1998 hingga 2002 telah berhasil memberikan perlindungan sosial bagi sebagian penduduk penduduk miskin dan rentan selama masa krisis ekonomi berlangsung. Adapun perlindungan yang diberikan melalui JPS adalah di bidang kesehatan (kartu sehat), pendidikan (beasiswa dan dana bantuan operasional), kesejahteraan sosial (a.l. anak jalanan), keluarga berencana (kontrasepsi), dan usaha ekonomi (padat karya).
Ketidaksiapan pemerintah dalam menghadapi kondisi krisis ekonomi, tercermin dalam pelaksanaan proyek JPS yang mengalami berbagai hambatan. Proyek JPS tidak terbentuk melalui sebuah perencanaan yang matang, melainkan melalui pengambilan keputusan darurat (seringkali disebut sebagai crash program). Sebagai akibatnya mekanisme penetapan sasaran penerima manfaat JPS tidak tepat, penyaluran dana tidak lancar, dan cakupan bantuan tidak konsisten, serta terjadi “kebocoran” dana selama masa lima tahun pelaksanaan JPS. Oleh karena itu, sistem perlindungan yang diharapkan di masa mendatang harus mencakup perlindungan secara otomatis dan sistematis dari dampak krisis ekonomi yang berkepanjangan, terutama bagi kelompok penduduk rentan.
Bentuk perlindungan sosial lain yang telah dilaksanakan pemerintah adalah pemberian subsidi beras bagi penduduk miskin saat terjadi paceklik panjang maupun krisis. Selama masa krisis ekonomi, Operasi Pasar Khusus (OPK) beras memungkinkan penduduk miskin untuk membeli beras seharga kurang dari setengah dari harga resmi. Namun, menurut studi dari SMERU, terjadi “kebocoran” dana dan salah target dalam pelaksanaannya, yakni mencapai sekitar 50%.
Pemerintah juga telah memberikan perlindungan sosial dalam bentuk Kompensasi Kenaikan BBM sejak dicabutnya subsidi BBM pada tahun 2001. Hingga kini bantuan tersebut masih berlanjut khusus untuk bidang kesehatan, kesejahteraan sosial, keluarga berencana, usaha kecil dan menengah, dan pertanian. Kompensasi Kenaikan BBM akan berakhir pada tahun 2004.
Bantuan sosial yang diselenggarakan pemerintah (melalui Departemen Sosial) diberikan pada penduduk miskin, korban bencana alam/konflik, korban tindak kekerasan, dan pekerja migran yang bermasalah. Bentuk bantuan umumnya berupa biaya pangan (permakanan), transport dari tempat asal ke tempat pengungsian dan sebaliknya pada saat pemulangan/relokasi pengungsi, serta biaya perbaikan tempat tinggal.
(2) Jaminan sosial. Saat ini upaya pemerintah dalam menjamin kesejahteraan sosial adalah dengan Jaminan Kesejahteran Sosial (JKS), yang juga masih dalam tahap uji coba. Bentuk dari Jaminan Kesejahteraan Sosial ini terbagi dua, yaitu: (1) Bantuan Kesejahteraan Sosial; dan (2) Asuransi Kesejahteraan Sosial (Askesos).
Bantuan Kesejahteraan Sosial (BKS) diberikan kepada individual, keluarga, kelompok, atau komunitas yang tidak mampu. BKS terbagi dalam dua skema, yaitu skema permanen dan skema sementara. BKS Permanen diberikan secara terus menerus pada penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang permanen seperti lansia terlantar, anak terlantar, anak yatim piatu miskin, dan penyandang cacat fisik dan mental (cacat ganda). Adapun BKS Sementara diberikan dalam kurun waktu tertentu kepada PMKS non permanen seperti korban bencana alam dan sosial.
Menyimak skema-skema BKS, nampak bahwa skema BKS Permanen mirip dengan salah satu kegiatan pokok yang tercakup dalam program pembangunan bidang kesejahteraan sosial. Dalam program pengembangan potensi kesejahteraan sosial, pelayanan sosial juga diperuntukkan bagi lanjut usia terlantar dan penyandang cacat. Perbedaan dari kedua upaya tersebut hanya pada mekanismenya. BKS permanen yang diujicobakan saat ini adalah Jaminan Kesejahteraan Sosial Gotong Royong (JKS-GR). JKS-GR memberikan modal usaha kepada kelompok-kelompok penduduk miskin yang tergabung dalam koperasi-koperasi, kelompok usaha bersama (KUBE), dan lain-lain. Hasil usaha dari kelompok-kelompok tersebut kemudian disisihkan sebagian untuk membantu kesejahteraan PMKS permanen tadi. Dengan kata lain, jaminan kesejahteraan sosial tidak diberikan secara langsung pada PMKS, tetapi dengan melalui kelompok-kelompok sosial dan ekonomi yang ada di masyarakat. Sedangkan mekanisme yang digunakan dalam program pengembangan potensi kesejahteraan sosial dana diberikan secara langsung kepada PMKS.
Kelemahan dari skema JKS-GR ini adalah bahwa kelompok-kelompok yang menjadi sasaran penerima bantuan modal umumnya adalah kelompok masyarakat yang tergolong miskin dengan penghasilan yang sangat terbatas. Penghasilan dari usaha kelompok bisa diperkirakan hanya akan cukup untuk keperluan mereka sendiri. Dengan mensyaratkan mereka untuk membagikan sebagian dari hasil usaha mereka pada PMKS permanen, tentu akan terasa sangat membebani.
Yang menjadi pertanyaan dalam hal ini, apakah bila JKS-GR ini bisa berjalan dengan sukses dan kemudian dapat diterapkan secara nasional, maka kegiatan serupa di program pengembangan potensi kesejahteraan sosial akan dihapuskan? Patut dicatat bahwa mekanisme JKS-GR ini merupakan bentuk pelibatan masyarakat secara langsung dalam penyelenggaraan upaya meningkatkan kesejahteraan sosial bagi penduduk rentan.
Demikian pula halnya dengan BKS Sementara yang serupa dengan salah satu kegiatan pokok yang tercakup dalam program pembangunan bidang kesejahteraan sosial dengan sasaran utama penerima manfaat (target beneficiary) adalah korban bencana alam dan bencana sosial untuk menstimulasi keberdayaan mereka menuju kemandirian.
Bentuk lain dari JKS adalah Asuransi Kesejahteraan Sosial (Askesos) yang saat ini juga masih dalam tahap uji coba. Keanggotaannya masih bersifat sukarela dan terbatas dengan sasaran utama sebagai klien adalah pencari nafkah utama dalam keluarga miskin dan bekerja di sektor informal seperti pedagang kaki lima, tukang becak, pedagang sayur, dll. Skema asuransi ini hampir sama atau bahkan sama dengan ujicoba yang dilakukan oleh Jamsostek dalam upayanya meningkatkan cakupan kepesertaan ke sektor informal. Pemerintah – dalam hal ini Departemen Sosial – berharap dapat kelak mengembangkan Askesos dalam skala nasional dan dengan keanggotaan yang bersifat wajib, berlaku bagi semua orang. Walaupun demikian, tantangan yang dihadapi untuk menyukseskan skema ini sangat besar, dengan berbagai kelemahannya yang harus diatasi terlebih dahulu.
Kelemahan-kelemahan skema Askesos adalah: a) rancangan struktur organisasi yang kurang mencerminkan fungsi instansi pemerintah sebagai fasilitator dan regulator serta terlalu panjang berjenjang; b) penetapan besaran premi/iuran yang menggunakan nilai nominal, sehingga kurang mencerminkan kondisi dan kemampuan penduduk miskin di daerah yang tentu saja berbeda; c) penetapan besaran klaim yang menggunakan nilai nominal, sehingga kurang mencerminkan kondisi, kebutuhan dan kemampuan penduduk miskin di daerah yang tentu saja berbeda; d) penetapan jenis pertanggungan yaitu persyaratan yang cukup berat bagi peserta untuk mendapatkan klaim, seperti keterangan dokter yang ditunjuk, keterangan kepala sektor kepolisian setempat, keterangan ketua RT dan RW, keterangan dari kelurahan dan berita acara yang dibuat oleh petugas Askesos. Semua dokumen tersebut diperlukan untuk mendapatkan klaim yang berkisar antara Rp 100.000 sampai Rp 600.000 tergantung lama keanggotaan dan jenis klaim. Persyaratan klaim tersebut masih belum pro-poor, sebab penduduk miskin tidak mempunyai cukup uang untuk transpor harus ke sana ke mari untuk mengurus semua dokumen-dokumen tersebut, belum lagi beban administrasi yang harus mereka tanggung.
Selain kelemahan tersebut, skema Askesos juga akan sangat memberatkan pemerintah, sebab sharing premi-nya sangat timpang. Pemerintah harus menanggung sebagaian besar dari beban premi sebab pesertanya adalah penduduk yang tidak mampu, yang berpenghasilan sangat minim. Selain itu, seluruh atau sebagian besar biaya administrasi juga harus ditanggung pemerintah. Bila skema ini diperluas hingga tingkat nasional, kemungkinannya adalah pemerintah harus menanggung sebagian besar premi dari sekitar 37,5 juta orang atau paling tidak 13,4 juta orang yang sangat miskin, padahal kemampuan keuangan negara sangat terbatas, dan pemerintah telah pula menanggung sebagian dari beban asuransi yang telah lebih dulu berjalan seperti Jamsostek, Askes, Taspen, Jasa Raharja, dan Asabri.
Satu bentuk perlindungan sosial yang belum terselenggara dengan baik adalah perlindungan hukum. Masyarakat miskin, cacat, terlantar, lansia, dan anak-anak, menjadi semakin tidak berdaya dengan tidak adanya perlindungan hukum. Hak-hak mereka akan dengan mudah terlindas tanpa adanya perlindungan hukum. Studi yang dilakukan oleh Univ. Muhammadiyah mengindikasikan bahwa salah satu faktor utama lingkaran setan kemiskinan yang sulit dipecahkan, adalah lemahnya posisi orang miskin di dalam sistem hukum. Oleh sebab itu, perlindungan hukum adalah sangat esensial bagi penduduk miskin.
Menurut studi tersebut, sebagian besar anak yang berkonflik dengan hukum menjalani persidangan tanpa didampingi oleh pengacara, dan walaupun tidak ada pidana mati bagi anak-anak, sebagian besar hukuman yang dijatuhkan adalah hukuman penjara, bukan hukuman denda ataupun hukuman non-penjara lainnya. Selain itu, meningkatnya jumlah anak yang dieksploitasi dan diperlakukan salah oleh orang dewasa baik secara fisik dan emosional merupakan indikasi yang kuat akan kebutuhan yang besar bagi anak akan perlindungan hukum yang memadai.
A.5 JAMINAN PERLINDUNGAN DAN SANTUNAN KEMATIAN (JASA RAHARJA)
(a) Latar Belakang
Program jaminan sosial pemerintah yang memberikan perlindungan dan santunan kematian adalah ”Perusahaan Negara Kerugian Jasa Raharja” yang berdiri sejak tanggal 1 Januari 1965 dengan tugas khusus mengelola pelaksanaan UU No.33 dan UU No. 34 tahun 1964. UU No.33/64 Jo PP No. 17/65 merupakan bentuk santunan kepada masyarakat yang mengalami musibah, kecelakaan dalam perjalanan. Sedangkan UU No. 34/64 Jo PP No. 18/65 merupakan bentuk santunan kepada masyarakat dari kerugian akibat kecelakaan atau musibah saat menggunakan transportasi umum.
Undang-undang no 33/64 Jo PP no.17/65 berisi tentang: (1) korban yang berhak atas santunan meliputi setiap penumpang sah dari alat angkutan penumpang umum yang mengalami kecelakaan diri, yang diakibatkan oleh penggunaan alat angkutan umum, selama penumpang yang bersangkutan berada dalam angkutan tersebut yaitu saat naik dari tempat pemberangkatan sampai turun di tempat tujuan; (2) kendaraan bermotor umum (bis) yang berada dalam kapal ferry, apabila kapal ferry tersebut mengalami kecelakaan, kepada penumpang bis yang menjadi korban akan diberikan jaminan ganda; (3) bagi penumpang mobil plat hitam yang mendapat izin resmi sebagai alat angkutan penumpang umum, seperti mobil pariwisata, mobil sewa, dan lain-lain terjamin juga; (4) jaminan bagi penyelesaian santunan bagi korban yang mayatnya tidak diketemukan dan atau hilang didasarkan kepada putusan pengadilan negeri.
Sedangkan ruang lingkup UU no 34/64 Jo PP No 18/65 menyatakan bahwa korban yang berhak atas santunan, adalah pihak ketiga yaitu: (1) setiap orang yang berada di luar angkutan lalu lintas jalan yang menimbulkan kecelakaan yang menjadi korban akibat kecelakaan dari penggunaan alat angkutan lalu lintas jalan tersebut, sebagai contoh adalah pejalan kaki yang ditabrak oleh kendaraan bermotor; (2) setiap orang atau mereka yang berada di dalam suatu kendaraan bermotor dan ditabrak, dimana pengemudi kendaraan bermotor yang ditumpangi dinyatakan bukan sebagai penyebab kecelakaan, termasuk dalam hal ini para penumpang kendaraan bermotor dan sepeda motor pribadi; (3) tabrakan dua atau lebih kendaraan bermotor apabila dalam laporan hasil pemeriksaan kepolisian dinyatakan bahwa pengemudi yang mengalami kecelakaan merupakan penyebab terjadinya kecelakaan, maka baik pengemudi maupun penumpang kendaraan tersebut tidak terjamin; (4) pada kasus tabrak lari akan terlebih dahulu dilakukan penelitian atas kebenaran kasus kejadiannya; (5) pejalan kaki di atas rel atau jalanan kereta api dan atau menyeberang sehingga tertabrak kereta api serta pengemudi/penumpang kendaraan bermotor yang mengalami kecelakaan akibat lalu lintas perjalanan kerat api; (6) pejalan kaki atau pengemudi/penumpang kendaraan bermotor yang dengan sengaja menerobos palang pintu kereta api yang sedang difungsikan sebagaimana lazimnya kereta api akan lewat, apabila tertabrak kereta api maka korban tidak terjamin.
(b) Besaran Premi Dan Santunan
Iuran Wajib dan santunannya diatur dalam SK Menteri Keuangan No. 415/KMK.06/2001 tentang penetapan santunan dan iuran wajib dana pertanggungan wajib kecelakaan penumpang alat angkutan penumpang umum di darat, sungai/danau, ferry/ penyeberangan, laut dan udara. Untuk Sumbangan Wajib dan santunannya diatur dalam SK Menteri Keuangan No.416/KMK.06/2001 tentang penetapan santunan dan sumbangan wajib dana kecelakaan lalu lintas jalan. Teknis pengenaan premi adalah; (1) Iuran Wajib: setiap penumpang yang akan menggunakan alat transportasi umum membayarkan iuran wajib yang disatukan dengan ongkos angkut pada saat membeli karcis atau membayar tarif angkutan dan pengutipan ini dilakukan oleh masing-masing operator (pengelola) alat transportasi tersebut; (2) Sumbangan Wajib: pembayarannya dilakukan secara periodik (setiap tahun) di kantor Samsat pada saat pendaftaran atau perpanjangan SIM.
Pembayaran premi dalam program asuransi kecelakaan dikenal dengan 2 (dua) bentuk yaitu Iuran Wajib (IW) dan Sumbangan Wajib (SW). IW dikenakan kepada penumpang alat transportasi umum seperti kereta api, pesawat terbang, bus dan sebagainya. Sedangkan khusus penumpang kendaraan bermotor umum di dalam
Besarnya santunan UU No. 33 & 34 tahun 1964 yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan RI No. 415/KMK.06/2001 dan 416/KMK.06/2001 tanggal 17 Juli 2001:
Jenis Risiko | Angkutan Umum | |
Darat, Laut | Udara | |
Meninggal | Rp.10.000.000,- | Rp.50.000.000,- |
Cacat tetap | Rp.10.000.000,- | Rp.50.000.000,- |
Biaya Rawatan | Rp. 5.000.000,- | Rp.25.000.000,- |
Biaya Kubur | Rp. 1.000.000,- | Rp. 1.000.000,- |